Jumat, 26 April 2019

penyakit tanaman

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGENDALIAN HAYATI (PNA2533)
PENYAKIT TANAMAN



ACARA I
PENGENALAN ANTAGONIS





logo unsoed




Rombongan : 1
Kelompok : 3
1.      Prihatini Puji Lestari            (A1D016137)
2.      Delfita Mutiara A.L              (A1D016145)
3.      Zaqiatul Fakhiroh                 (A1D016229)
4.      Nur Khasanah Maulida       (A1D116003)
5.      Muhammad Fahmi               (A1D115054)







KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
LABORATORIUM PERLINDUNGAN TANAMAN
PURWOKERTO
2018



I.         PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam budidaya tanaman sudah tidak asing lagi jika tanaman terserang suatu penyakit, hal itu dikarenakan berbagai faktor penyebab patogen tersebut berkembang pada lingkungan budidaya. Untuk mengatasi hama tersebut maka perlu dilakukan pengendalian, baik secara mekanis, biologis maupun kimiawi.  Akhir-akhir ini  banyak sekali digencarkan pengendalian secara alami atau hayati karena dengan metode ini lebih aman jika dibandingkan dengan metode secara kimiawi menggunakan bahan sintetis yang memiliki residu.
Pengendalian hayati pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama dan penyakit tanaman yang merugikan. Pemanfaatan agens hayati dalam proses produksi suatu tanaman khususnya dalam menekan kehilangan dan kerugian hasil akibat organisme  pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu aspek penting yang sangat  berpeluang untuk memberikan jawaban pada petani dalam upaya mencegah terjadinya penggunaan pestisida yang berlebihan. Ketersediaan lingkungan yang cocok bagi perkembangan musuh alami merupakan keberhasilan pengendalian hayati. Perbaikan teknologi introduksi, mass rearing dan pelepasan di lapangan akan mendukung dan meningkatkan fungsi musuh alami.
Dalam pengendalian hayati patogen tanaman, antagonis adalah pengendali hayati yang mempunyai kemampuan menggangu proses hidup patogen tanaman. Antagonis meliputi semua kelas organisme yaitu jamur, bakteri, nematoda, protozoa, virus, dan tanaman biji (misalnya: tanaman perangkap). Penggunaan mikroorganisme antagonis sebagai agen pengendalian hayati mampu memberikan harapan baru untuk pengendalian hama pertanian terutama fungi yang bersifat patogen. Secara alamiah, pada tanah terdapat mikroorganisme yang berpotensi untuk menekan perkembangan patogen dalam tanah karena dapat bersifat antagonis. Sehingga dalam agen hayati ini mampu memberikan manfaat yang besar dalam bidang sektor pertanian apabila diterapkan.

B.       Tujuan
Tujuan dilaksanakannya praktikum ini adalah:
1.        Mengenal antagonis baik jamur dan bakteri dari biakan murni.
2.        Mengetahui morfologi dari antagonis.

C.      Manfaat
Manfaat dilaksanakannya praktikum ini adalah:
1.        Diperolehnya pengetahuan mengenai antagonis jamur dan bakteri dari biakan murni.
2.        Diperolehnya pengetahuan mengenai morfologi dari antagonis.



II.      TINJAUAN PUSTAKA
A.      Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman
Pengendalian penyakit tanaman secara hayati dalam arti luas adalah setiap cara pengendalian penyebab penyakit atau pengurangan jumlah atau pengaruh patogen tersebut yang berhubungan dengan mekanisme kehidupan oganisma lain selain manusia. Pengendalian penyakit secara hayati dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman yan tahan terhadap serangan patogen tertentu, atau dengan menggunakan mikroorganisme lain yang bersifat antagonistik atau parasit terhadap patogen tanaman. Beberapa agensia hayati yang telah diketahui dapat digunakan dalam pengendalian penyakit secara hayati antara lain jamur dan bakteri (Campbell, 1989).
Tindakan PHT dapat dilakukan dengan memanfaatkan agens hayati dan bahan nabati yang lebih ramah lingkungan. Terdapat beberapa jenis agens hayati yang bersifat antagonis terhadap Ralstonia solanacearum antara lain; Streptomyces sp., Pseudomonas fluorecens, dan Trichoderma viride (Paath, 2005). Bahan nabati juga dapat digunakan sebagai pestisida nabati karena menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat antibakteri. Daun sirih dan kubis ialah beberapa diantara bahan nabati yang memiliki kemampuan mencegah perkembangan bakteri di dalam tanah (Maharani et al., 2014).
Menurut Jumar (2000), pengendalian hayati memiliki keuntungan yaitu : 1) Aman artinya tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia dan ternak, 2) Tidak menyebabkan resistensi hama, 3) Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inangnya atau mangsanya, dan 4) Bersifat permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan telah setabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dan musuh alaminya. Selain keuntungan pengendalian hayati juga terdapat kelemahan atau kekurangan seperti : 1) Hasilnya sulit diramalkan dalam waktu yang singkat, 2) Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarana, 3) Dalam hal pembiakan di laboratorium kadang-kadang menghadapi kendala karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan yang kusus, dan 4) Teknik aplikasi dilapangan belum banyak dikuasai.

B.       Uji Antagonis
Antagonis adalah peristiwa yang menyebabkan tertekannya aktivitas suatu mikroorganisme jika dua mikroorganisme atau lebih berada pada tempat yang berdekatan. Uji antagonis merupakan uji yang digunakan membuktikan bahwa mikroorganisme yang bersifat antagonis dapat menghambat aktivitas mikrooganisme lain yang berada ditempat yang berdekatan. Mikroorganisme yang bersifat antagonis ini memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat menutupi mikroorganisme yang berdekatan dengannya (Tuju, 2004).
Mikroorganisme dalam tanah dilingkungan alami mengadakan interaksi dengan mikroorganisme lainnya untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Baker dan Cook (1974) membedakan interaksi antagonisme menjadi beberapa tipe yaitu hiperparasit, kompetisi, antibiosis, dan lisis. Kompetisi dapat terjadi dalam hal makanan, air, udara dan ruangan. Kompetisi akan terjadi jika lebih dari satu macam organisme memenuhi kebutuhannya dari satu sumber yang sama dan terbatas (Singh & Faul, 1986). Sedangkan parasitisme merupakan simbiosis antagonistik antara satu organisme dengan organisme lainnya. Seperti yang terjadi pada parasitisme Trichoderma memasuki hifa R. solani atau S. rolfsii dengan menembus dindingnya, membuat lubang penetrasi pada hifa inang.
Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruhyang merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasidengannya. Antagonis meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu yang lain dalam jumlah terbatas tetapi tidak diperlukan oleh OPT, (b) antibiosis sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senya6a kimia yang lain oleh mikroorganisme dan berbahaya bagi OPT, dan (c) predasi, hiperparasitisme, dan mikroparasitisme atau bentuk yang lain dari eksploitasi langsung terhadap OPT oleh mikroorganisme yang lain. Trichoderma spp. merupakan salah satu jamur antagonis yang telah banyak diujicoba untul mengendalikan penyakit tanaman (Tjahjadi, 1929).

C.      Trichoderma spp.
Trichoderma spp. merupakan jamur antagonis yang sangat penting untuk pengendalian hayati. Mekanisme pengendalian Trichoderma spp. yang bersifat spesifik target, mengoloni rhizosfer dengan cepat dan melindungi akar dari serangan jamur patogen, mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi tanaman, menjadi keunggulan lain sebagai agen pengendali hayati. Aplikasi dapat dilakukan melalui tanah secara langsung. Selain itu Trichoderma spp sebagai jasad antagonis mudah dibiakkan secara massal dan mudah disimpan dalam waktu lama (Arwiyanto, 2003).
Menurut Thomas dalam Ekowati (2000), Trichoderma sp. mampu memproduksi protein ekstraseluler yang mampu melisiskan dinding sel patogen yaitu melalui uji aktivitas enzimatis. Menurut Darmono (1997), molekul antibiosis yang dihasilkan oleh Trichoderma sp. yaitu 1,3 glukanase dan khitinase. Kedua enzim tersebut menghancurkan glukan dan kitin yang merupakan komponen dinding hifa dari beberapa cendawan patogen tanaman.



III.   METODE PRAKTIKUM
A.      Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum ini adalah biakan murni, alkohol, dan air steril. Alat yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum ini adalah kapas atau tisue, gelas benda, jarum ose dan praparat, cover glass, kamera, mikroskop dan alat tulis.

B.       Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilaksanakan pada saat praktikum antara lain:
1.        Preparat antagonis pada media PDA diamati dan difoto.
2.        Kaca preparat dan cover glass disterilkan dengan alkohol.
3.        Satu tetes air steril diambil dengan menggunakan pipet dan diteteskan pada kaca preparat.
4.        Preparat diambil dengan jarum yang telah disterilkan dan diletakkan pada kaca preparat.
5.        Preparat ditutup dengan cover glass dan ditekan sedikit agar preparat menyebar.
6.        Preparat diamati pada mikroskop dan hasil yang didapatkan difoto serta diberi keterangan secara lengkap preparat antagonis secara keseluruhan dan ciri-ciri morfologinya.



IV.   HASIL DAN PEMBAHASAN
A.      Hasil
Terlampir
B.       Pembahasan
Cendawan Trichoderma sp. merupakan mikroorganisme tanah bersifat saprofit yang secara alami menyerang cendawan patogen dan bersifat menguntungkan bagi tanaman. Cendawan Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis cendawan yang banyak dijumpai hampir pada semua jenis tanah dan pada berbagai habitat yang merupakan salah satu jenis cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai agens hayati pengendali patogen tanah. Cendawan ini dapat berkembang biak dengan cepat pada daerah perakaran tanaman (Gusnawaty et al., 2014).
Spesies Trichoderma sp. disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agens hayati. Trichoderma sp. dalam peranannya sebagai agens hayati bekerja berdasarkan mekanisme antagonis yang dimilikinya (Wahyuno et al., 2009). Purwantisari (2009), mengatakan bahwa Trichoderma sp. merupakan cendawan parasit yang dapat menyerang dan mengambil nutrisi dari cendawan lain. Kemampuan dari Trichoderma sp. ini yaitu mampu memarasit cendawan patogen tanaman dan bersifat antagonis, karena memiliki kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan cendawan lain.
Mekanisme yang dilakukan oleh agens antagonis Trichoderma sp. terhadap patogen adalah mikoparasit dan antibiosis selain itu cendawan Trichoderma sp. juga memiliki beberapa kelebihan seperti mudah diisolasi, daya adaptasi luas, dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat, cendawan ini juga memiliki kisaran mikroparasitisme yang luas dan tidak bersifat patogen pada tanaman (Arwiyanto, 2003). Selain itu, mekanisme yang terjadi di dalam tanah oleh aktivitas Trichoderma sp. yaitu kompetitor baik ruang maupun nutrisi, dan sebagai mikoparasit sehingga mampu menekan aktivitas patogen tular tanah (Sudantha et al., 2011).
Kemampuan masing-masing spesies Trichoderma sp. dalam mengendalikan cendawan patogen berbeda-beda, hal ini dikarenakan morfologi dan fisiologinya berbeda-beda (Widyastuti, 2006). Beberapa spesies Trichoderma sp. telah dilaporkan sebagai agens hayati adalah T. harzianum, T. viridae, dan T. koningii yang tersebar luas pada berbagai tanaman budidaya (Yuniati, 2005). Beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa Trichoderma sp. dapat mengendalikan patogen pada tanaman diantaranya Rhizoctonia oryzae yang menyebabkan rebah kecambah pada tanaman padi (Semangun, 2000), Phytopthora capsici penyebab busuk pangkal batang pada tanaman lada (Nisa, 2010), dan dapat menekan kehilangan hasil pada tanaman tomat akibat Fusarium oxysporum (Taufik, 2008).
Penggunaan agens hayati dalam pengendalian penyakit tumbuhan bersifat spesifik. Erwanti (2003) menyatakan bahwa, pengendalian hayati bersifat spesifik lokal yaitu mikroorganisme antagonis yang terdapat di suatu daerah hanya akan memberikan hasil yang baik di daerah asalnya. Telah dilaporkan bahwa isolat Trichoderma sp. yang berasal dari Kalimantan Selatan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengendalikan penyakit hawar pelepah daun padi dibandingkan dengan isolat Trichoderma sp. asal Yogyakarta di lahan pasang surut daerah Kalimantan Selatan (Prayudi et al., 2000). Hal tersebut membuktikan bahwa isolat lokal (Indigenos) memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dan berpotensi yang lebih baik dalam menekan patogen yang terdapat di daerah asalnya dibanding menggunakan isolat yang berasal dari daerah lain.
Hasil dan pengamatan praktikum acara 1 diperoleh informasi sebagai berikut:
Gambar 1. Kolini Jamur Trichoderma sp. Pada Media PDA (Prihatini, 2018)

Gambar 2. Koloni Jamur Trichoderma sp. Pada Media PDA (Delfita, 2018)

Dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 bahwa warna koloni Trichoderma sp. memiliki warna hijau, bentuk koloninya melingkar dan menyebar pada permukaan media. Berdasarkan hasil penelitian Taribuka et al. (2016), koloni Trichoderma isolat Swn-1, Swn-2, Ksn, dan Psr-1 membentuk lingkaran, berwarna hijau gelap pada setiap lingkaran. Koloni isolat Psr-2 dan Psr-3 tumbuh merata pada permukaan media dan konidium terbentuk pada pinggir cawan petri. Hal ini ditandai dengan pinggiran cawan petri yang berwarna hijau gelap (Gambar 3). Ciri-ciri yang sama dikemukakan oleh Soesanto et al. (2011) yang menemukan isolat Trichoderma 4 dengan bentuk koloni melingkar serta warna koloni hijau gelap pada lingkaran. Rata-rata koloni tumbuh penuh mencapai pinggiran cawan petri dalam waktu 5 hari.
Berdasarkan hasil penelitian Gusnawaty et al. (2014) Karakterisasi Trichoderma spp. secara makroskopis meliputi warna koloni dan bentuk koloni yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan warna koloni selama 7 hari dan bentuk koloni setiap isolat (Gusnawaty et al., 2014)
Isolat
Waktu Pengamatan Ke- HIS
Bentuk
Koloni
1
2
3
4
5
6
7
ASL
Putih
Putih
Putih
kuning agak
kehijauan
Putih
kuning agak
kehijauan
Hijau
muda agak
kekuningan
Hijau
muda agak
kekuningan
Hijau
kekuningan
Bulat
DKP
Putih
Putih agak
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
Muda
Hijau
Muda
Hijau
Hijau tua
Bulat
DPA
Putih
Putih agak
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
Muda
Hijau
Muda
Hijau
Hijau tua
Bulat
DKT
Putih
Putih
Putih agak
kehijauan
Hijau
Muda
Hijau
Muda
Hijau
Hijau tua
Bulat
APS
Putih
Putih
Putih agak
kehijauan
Hijau
Muda
Hijau
Muda
Hijau
Hijau tua
Bulat
LPS
Putih
Putih agak
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
Muda
Hijau
Hijau
Hijau tua
Bulat
LKO
Putih
Putih
Putih
kehijauan
Hijau
Muda
Hijau
Hijau
Hijau tua
Bulat
BPS
Putih
Putih agak
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
Muda
Hijau
Hijau
Hijau tua
Bulat
LKP
Putih
Putih agak
kehijauan
Putih hijau
kekuningan
Putih hijau
Kekuningan
Putih hijau
agak
kekuningan
Hijau
Hijau tua
Bulat
LTB
Putih
Putih
Putih agak
kehijauan
Hijau
Muda
Hijau
Hijau
Hijau tua
Bulat
LKA
Putih
Putih agak
kehijauan
Putih agak
kehijauan
Hijau
Muda
Hijau
Hijau
Hijau tua
Bulat

Tabel 1 berdasarkan penelitian Gunawaty et al., (2014) menunjukkan bahwa dari 11 isolat Trichoderma spp. indigenos Sulawesi Tenggara yang dikarakterisasi berdasarkan morfologinya terjadi perkembangan warna koloni yang berbeda dari hari ke-1 sampai hari ke-7. Perkembangan warna koloni diawali dengan warna putih, putih agak kehijauan, hijau muda, hijau dan hijau tua setelah umur 7 hari, namun pada isolat ASL warna koloni yang terlihat dari hari ke-3 hingga ke-7 terdapat warna kekuningan, sedangkan pada isolat LKP warna kekuningan hanya terlihat sampai hari ke-5. Koloni yang terbentuk dari semua isolat adalah bulat.
Gambar 3. Karakteristik morfologi isolat Trichoderma endofitik berumur 5 hari. A. Isolat Swn-1; B. Isolat Swn-2; C. Isolat Ksn; D. Isolat Psr-1; E. Isolat Psr-2; dan F. Isolat Psr-3; Bar = 20 μm (Taribuka et al., 2016)


bb
 

a
 
Gambar 4. (a) Fialid, (b) Konidia/phialospore (Zaqia, 2018)

Gambar 4. Menunjukkan bahwa isolat memiliki fialid yang relatif luas, konidia berbentuk oval, berdinding halus dan berwarna transparan. Berdasarkan hasil penelitian Taribuka et al. (2016) ukuran konidium isolat Swn-1 (2,80 x 2,47μm) lebih besar dari ukuran konidium isolat Swn-2 (2,79 x 2,42 μm), isolat Ksn (2,64 x 1,87 μm), dan isolat Psr-1 (2,58 x 2,46μm), namun ukuran konidium isolat Psr-2 (2,83 x 2,52 μm) lebih besar dari ukurana konidium isolat Psr-3 (2,87 x 1,93 μm). Berdasarkan ukuran konidium dan fialid pada isolat Swn-1, isolat Swn-2 dan isolat Psr-1 merupakan kisaran ukuran dari Trichoderma harzianum Rifai, yaitu ukuran konidium antara (2,5)2,7-3,5 x 2,1-2,6(-3,0) μm dan ukuran fialid 3,5-7,5 x 2,5-3,8 μm. Warna konidium untuk keenam isolat Trichoderma adalah mempunyai warna konidium yang sama yaitu hijau. Bentuk konidium isolat Swn-1, Swn-2, Ksn, Psr-1 dan Psr-2 adalah sama yaitu oval dan bentuk konidium isolat Psr-3 adalah bulat. Dinding konidium isolat Swn-1, Swn-2, Psr-2 dan Psr-3 tidak berbeda yaitu tipis dan dinding konidium isolat Ksn dan Psr-1 adalah tebal (Kubicek & Harman, 1998). Ukuran fialid isolat Swn-1 (7,0 x 3,23 μm) danisolat Swn-2 (6,99 x 3,25 μm) tidak terpaut jauh, juga ukuran fialid isolat Ksn (5,84 x 2,95 μm) dan isolat Psr-1 (5,43 x 3,02 μm), sedangkan ukuran fialid Psr-2 (7,44 x 2,13 μm) sangat berbeda dengan isolat Psr-3 (8,3 x 2,76 μm). Sementara hifa isolat Swn-1, Swn-2, Ksn, Psr-1, Psr-2 dan Psr-3 tidak ada perbedaan yaitu hialin dan bersekat (Rifai, 1969).

c
 
Gambar 5. (c) Konidiofor (Fahmi, 2018)

 


Gambar 6. (d) Cabang konidiofor (Maulida, 2018)

Tabel 2. Karakteristik morfologi enam isolat Trichoderma endofitik (Taribuka et al., 2016)
Morfologi
Isolat
Swn-1
Swn-2
Ksn
Psr-1
Psr-2
Psr-3
Bentuk
koloni
Bulat,
membentuk
lingkaran
Bulat,
membentuk
lingkaran
Bulat,
membentuk
lingkaran
Bulat,
membentuk
lingkaran
Tumbuh
merata pada
permukaan
media
Tumbuh
merata pada
permukaan
media
Warna
koloni
Hijau gelap
Hijau gelap
Hijau gelap
Hijau gelap
Hijau gelap
Hijau-kuning
kusam
Bentuk
konidium
Oval
Oval
Oval
Oval
Bulat
Oval
Ukuran
konidia
2,80 x 2,47 μm
2,79 x 2,42 μm
2,64 x 1,87 μm
2,58 x 2,46 μm
2,83 x 2,52 μm
3,21 x 1,93 μm
Warna
konidium
Hijau muda
Hijau muda
Hijau
Hijau muda
Hijau
Hijau
Dinding
konidium
Tipis
Tipis
Tebal
Tebal
Tipis
Tipis
Ukuran
fialid
7,01 x 3,23μm
6,99 x 3,25 μm
5,84 x 2,95 μm
5,43 x 3,02 μm
7,44 x 2,13 μm
8,3 x 2,76 μm
Hifa
Hialin,
bersekat
Hialin,
bersekat
Hialin,
bersekat
Hialin,
bersekat
Hialin,
bersekat
Hialin,
bersekat



Berdasarkan hasil penelitian Gusnawaty et al. (2014), Karakterisasi Trichoderma sp. secara mikroskopis yakni bentuk konidiofor, fialid dan konidia (Tabel. 3) menggunakan buku identifikasi Watanabe (2002) dan Domsch et al., (1980).
Tabel 3. Spesies Trichoderma sp. dari 11 isolat berdasarkan bentuk konidiofor, fialid dan konidia (Gusnawaty et al., 2014)
No.
Spesies
Isolat
mikroskopis
Konidiofor
Fialid
Konidia
1.
T. hamantum
ASL
Tegak, bercabang
Pendek, tebal
Oval
2.
T. koningii
DKP, DPA, DKT, APS
Tegak, bercabang
Kecil, lancip
Oval
3.
T. harzianum
LPS, LKO, BPS
Tegak, bercabang
Pendek, lebih tebal
Oval
4.
T. polysporum
LKP
Bercabang
Panjang,
luas
Oval
5.
T. aureoviride
LTB, LKA
Bercabang
Pendek, tebal, vertikal
Oval

Berdasarkan hasil penelitian Gusnawaty et al. (2014) bahwa dari 11 isolat Trichoderma spp. yang diteliti diperoleh lima spesies yang berbeda yaitu T. Hamantum, T. Koningii, T. Harzianum, T. Polysporum, dan T. Aureoviride. Tiap spesies memiliki karakteristik morfologi yang berbeda-beda.
Gambar 7. Trichoderma hamantum; (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia (Gusnawaty et al., 2014).

Gambar 7 menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki bentuk konidiofor yang dikembangkan pada struktur bantal berbentuk tegak, bercabang yang tersusun vertikal. Fialid pendek dan tebal, konidia hijau muda, berdinding halus dan berbentuk oval. Koloni pada media PDA berwarna putih awalnya, kemudian hijau kekuningan dan berbentuk bulat. Koloni pada media PDA mencapai diameter lebih dari 7 cm dalam waktu lima hari (Gusnawaty et al., 2014).
Gambar 8. Trichoderma koningii (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia (Gusnawaty et al., 2014).

Gambar 8 menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki bentuk konidiofor tegak, bercabang tersusun vertikal. Fialid lancip ke arah puncak dan konidia berdinding halus dan kasar berwarna hijau berbentuk oval. Koloni pada media PDA mencapai lebih dari 5 cm dalam waktu 5 hari dan koloninya berwarna hijau serta berbentuk bulat (Gusnawaty et al., 2014).
Gambar 9. Trichoderma harzianum; (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia (Gusnawaty et al., 2014).
Gambar 9 menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki bentuk konidiofor tegak, bercabang yang tersusun vertikal. Fialid pendek dan tebal. Konidia hijau dan berbentuk oval. Koloni pada media PDA berwarna hijau tua dan berbentuk bulat. Diameter koloni mencapai lebih dari 9 cm dalam waktu 5 hari (Gusnawaty et al., 2014).
Gambar 10. Trichoderma polysporum: (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia (Gusnawaty et al., 2014).

Gambar 10 menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki bentuk konidiofor bercabang dan berakhir steril. Fialid relatif luas, konidia pendek berdinding halus berwarna hijau dan berbentuk oval. Koloni pada media PDA berwarna hijau tua dan tumbuh relatif lebih lambat, ukurannya mencapai 7 cm dalam waktu 10 hari (Gusnawaty et al., 2014).
Gambar 11. Trichoderma aureoviride; (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia (Gusnawaty et al., 2014).

Gambar 11 menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki bentuk konidiofor bercabang. Massa spora (konidium) berada pada setiap fialid. Fialidnya vertikal, pendek dan tebal. Konidia hijau dan berbentuk oval. Koloni pada media PDA berwarna hijau tua, permukaannya lembut dan berbentuk bulat (Gusnawaty et al., 2014).



V.      KESIMPULAN DAN SARAN
A.      Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.        Salah satu contoh jamur antagonis adalah Trichoderma sp. Trichoderma sp. merupakan cendawan parasit yang dapat menyerang dan mengambil nutrisi dari cendawan lain. Kemampuan dari Trichoderma sp. ini yaitu mampu memarasit cendawan patogen tanaman dan bersifat antagonis, karena memiliki kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan cendawan lain.
2.        Karakterisasi Trichoderma spp. secara makroskopis meliputi warna koloni dan bentuk koloni. Sedangkan karakterisasi Trichoderma spp. secara mikroskopis yakni bentuk konidiofor, fialid dan konidia

B.       Saran
Lebih banyak dikenalkannya jamur antagonis pada praktikan sehingga praktikan lebih banyak mengetahui tentang jenis-jenis jamur yang mempunyai sifat antagonis.
DAFTAR PUSTAKA
Arwiyanto T. 2003. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Bakteri Tembakau. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 3(1): 54-60.

Baker, K. F dan R. J. Cook. 1974. Biological control of microbial plant pathogen. Freeman WH. San Fransisco.

Campbell, R. 1989. Biological Control Of Microbial Plant Pathogens. Cambridge University Press. New York.

Domsch KH, Gams W and Anderson TH. 1980. Compendium of Soil Fungi. Volume 1. Academic Press, London.

Erwanti, Mardius Y, Habazar T dan Bachtiar A. 2003. Studi Kemampuan Isolat-Isolat Jamur Trichoderma spp. yang Beredar di Sumatra Barat Untuk Mengendalikan Jamur Patogen Sclerotium Roflsii pada Bibit Cabai. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah PFI, 22-24 Agustus 2003. Bogor.

Gusnawaty H.S, Muhammad T., Leni T., dan Asniah. 2014. Karakterisasi Morfologis Trichoderma spp. Indigenus Sulawesi Tenggara. Jurnal Agroteknos 4 (2): 87-93.

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Kubicek CP, & Harman GE. 1998. Trichoderma and Gliocladium Vol.1. Basic biology, taxonomy and Genetic. Taylor & Francis Ltd. 1 Gunpowder Square, London. UK. Taylor & Francis Inc, 1900 Frost Road, Suite 101. Bristol. USA.

Maharani, K.E., L.Q. Aini dan T. Wardiyati. 2014. Aplikasi Agens Hayati dan Bahan Nabati sebagai Pengendalian Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Budidaya Tanaman Tomat. Jurnal Produksi Tanaman 1 (6): 506-513.

Nisa NK. 2010. Isolasi Trichoderma spp. Asal tanah dan aktivitas penghambatannya terhadap pertumbuhan Phytopthora capsici penyebab penyakit busuk pangkal batang lada. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Paath, J.M. 2005. Pengendalian Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Tomat Dengan Pestisida Nabati. Eugenia 11 (1): 47-55.

Prayudi B, Budiman A, Rystham MA dan Rina Y. 2000. Trichoderma harzianum Isolat Kalimantan Selatan Agensia Pengendali Hawar Pelepah Daun Padi dan Layu Semai Kedelai di Lahan Pasang Surut. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Banjar Baru.

Purwantisari S. 2009. Isolasi dan Identifikasi Cendawan Indigenous Rhizosfer Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa Pakis. Magelang. Jurnal BIOMA. ISSN: 11 (2): 45.

Rifai MA. 1969. A revision of the genus Trichoderma. Mycol. Papers 116(1):1-56.

Semangun H. 2000. Ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soesanto L, Utami DS, & Rahayuniati RF. 2011. Morphological characteristics of four Trichoderma isolates and two endophytic Fusarium isolates. Can. J. on Scientific and Industrial Res. 2(8): 294-306.

Sudantha IM, Kesratarta I, Sudana. 2011. Uji Antagonisme Beberapa Jenis Jamur Saprofit Terhadap Fusarium oxysporum F. Sp. Cubense Penyebab Penyakit Layu pada Tanaman Pisang Serta Potensinya Sebagai Agens Pengurai Serasah. UNRAM, NTB. Jurnal Agroteksos 21 (2): 2-3.

Taribuka J., Christanti S., SM Widyastuti, dan Arif W. 2016. Eksplorasi dan Identifikasi Trichoderma Endofitik pada Pisang. J. HPT Tropika 16 (2): 115- 123.

Taufik M. 2008. Efektivitas Agens Antagonis Trichoderma sp. pada Berbagai Media Tumbuh Terhadap Penyakit Layu Tanaman Tomat. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Sulawesi Selatan. Makassar.

Tjahjadi, F. 1929. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius. Yogyakarta

Wahyuno D, Manohara D, dan Mulya K. 2009. Peranan Bahan Organik pada Pertumbuhan dan Daya Antagonisme Trichoderma harzianum Dan Pengaruhnya Terhadap P. capsici. pada Tanaman Lada. Jurnal Fitopatologi Indonesia 7: 76−82.

Watanabe T. 2002. Pictorial atlas of soil and seed fungi morphologies of cultured fungi and key to species. CRC Press LLC. U.S.A.

Widyastuti SM, Sumardi, Irfa dan Harjono, 2006. Aktivitas Penghambatan Trichoderma spp. Terformulasi Terhadap Jamur Patogen Tular Tanah Secara In-Vitro. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 8: 27-39.

Yuniati. 2005. Pengaruh Pemberian Beberapa Spesies Trichoderma sp. dan Pupuk Kandang Kambing Terhadap Penyakit Layu Fusarium oxysporum F. Sp Lycopersici pada Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah. Malang.




LAMPIRAN
 
Penampakan Makroskopis Jamur Trichoderma sp.

    
Penampakan Mikroskopis Jamur Trichoderma sp.








1 komentar:

  1. LuckyClub Casino Site & Website Review
    Lucky Club has over 20 years experience providing world class gambling experience. With a large welcome bonus, a great range of luckyclub games,  Rating: 7.4/10 · ‎Review by LuckyClub.com

    BalasHapus